Perempuan Tanpa Stigma
Janda: Tidak Hanya Melukai Hati Tapi Juga Menyakiti Pendengaran!

Ilustrasi: Sherly Intan Amalia
Saat kamu mendengar istilah janda, apa yang terbesit dipikiranmu? Kesan buruk dengan seabrek stigma negatif? Atau kesan positif dengan segudang usaha pencapaian yang
berusaha diraih?
Tidak ada yang salah dengan istilah atau status tersebut, bukan?
Tapi, rasanya sulit menghapus kesan negatif dan stigma yang melekat ketika kamu diminta untuk membayangkan dan mengomentari tentang istilah janda. Karena bagiku sendiri, istilah atau kata-kata tersebut sudah berkonotasi negatif.
Istilah janda terlalu kasar. Terlalu memekakkan telinga, sedikit frontal, dan nakal ketika di dengar. Seolah, “Apa tidak ada istilah atau sebutan lain yang lebih memuliakan seorang perempuan tanpa suami?”
Memang tidak ada yang salah dengan sebutan janda, jika merajuk berdasarkan KBBI pun tidak ada arti negatif tentang janda. Janda hanya sebuah status, tetapi kerap kali sebutan tersebut mengalami marginalisasi sehingga membuat orang yang mendengar istilah janda membayangkan bahwa janda memiliki atribut yang negatif.
Istilah janda kerap ditambahi dengan imbuhan-imbuhan janda gatal, janda pelakor, janda nakal, dsb. Tidak ada istilah positif tentang janda. Lain halnya dengan istilah duda yang kerap kali didengar dengan sebutan duren atau duda keren. Budaya patriarki menempatkan janda sebagai warga kelas dua. Seorang perempuan menyandang status janda, karena kematian atau sebuah perceraian, kedudukannya dipandang tetap lebih rendah daripada duda. Perempuan selalu dianggap sebagai second person daripada laki-laki, itulah sebabnya mengapa tidak ada istilah positif yang melabeli seorang janda.
Tak hanya di mata seorang lelaki, para janda juga seringkali dipandang negatif oleh sesama perempuan. Para perempuan yang bersuami akan sibuk grasak-grusuk jika ada janda yang tinggal di lingkungan sekitarnya. Mencurigai setiap tingkah yang dilakukannya, seolah menjadi janda adalah sebuah kehinaan dan kutukan.
Apa ada istilah jaren atau janda keren? Jalim atau janda alim? NOPE! Tidak pernah ada sama sekali. Yang lebih mengiris hati, seringkali istilah janda dijadikan sebuah lelucon dan becandaan sexist. Sulit mengedukasi orang-orang yang sudah terbentur dengan budaya patriarki. Bahkan, ketika seorang janda tersandung dengan sebuah konflik, orang selalu memandang, “Oh, pantas saja! Janda!” Begitu ucapnya, seolah menormalisasi bahwa janda rentan dengan konflik dan permasalahan. Kejam sekali orang melabeli seorang janda.
Sekalipun ketika disebut dengan istilah janda kembang yang mengacu pada janda yang masih muda dan belum memiliki anak dari pernikahannya, bagiku, panggilan dan istilah-istilah tersebut terdengar menggoda dan nakal. Entah, aku yang terlalu sensitif atau norak dan ribet, entah memang sejarah mencatat bahwa istilah janda terkesan genit dan nakal.
Itulah sebabnya, bagiku istilah janda sendiri terdengar sangat menyakiti hati dan telinga. Aku lebih beranggapan bahwa memanggil seorang perempuan tanpa suami dengan sebutan ibu tunggal, single mom atau single parents terdengar sedikit lebih friendly dan menghargai perempuan. Tapi bagaimanapun juga, istilah janda dan menjadi janda di lingkungan konservatif agak sedikit mempersempit ruang gerak yang tidak perlu diambil pusing.
Mau apapun istilah yang dilabeli pada perempuan yang tidak mempunyai suami, baik karena ditinggal mati atau perceraian, istilah janda lebih akrab didengar daripada kata-kata “preloved” yang terdengar lebih sadis. Bagiku, istilah-istilah tersebut, menempatkan perempuan tanpa suami hanyalah sebagai objek belaka. Meskipun ditambahi dengan kata partner dibelakangnya, tetap saja preloved partner mengacu pada istilah bekas meski masih layak pakai.
Sungguh memilukan, istilah janda yang terdengar sarkas ditambah lagi dengan PR dan beban dengan sebutan preloved partner.
Istilah janda memang selalu menjadi sorotan, selalu ramai menjadi perbincangan, tak pernah habis tentangnya. Tapi, apapun sebutannya, seorang perempuan tanpa suami berhak memilih dan menjalani kehidupannya sendiri. Karena kehidupanmu adalah milikimu sendiri. Bukan milik siapapun apalagi milik para polisi moral. Berbesar hati mengijinkan mereka memberi label apapun untukmu. Tugasmu hanya hidup menujukkan bahwa label tersebut tak pernah menyurutkan langkahmu!
Editor :Sherly Intan Amalia
Source : Sudut Pandang Penulis